A. Esensi
Pendekatan Ilmiah (Pendekatan Scientific)
Pada hakikatnya, sebuah proses
pembelajaran yang dilakukan di kelas-kelas bisa kita dipadankan sebagai sebuah
proses ilmiah. Oleh sebab itulah, dalam Kurikulum 2013 diamanatkan
tentang apa sebenarnya esensi dari pendekatan saintifik pada kegiatan
pembelajaran. Ada sebuah keyakinan bahwa pendekatan ilmiah merupakan
sebentuk titian emas perkembangan dan
pengembangan sikap (ranah afektif), keterampilan (ranah
psikomotorik), dan pengetahuan (ranah kognitif) siswa.
Pada suatu pendekatan yang
dilakukan atau proses kerja yang memenuhi
kriteria ilmiah, para saintis lebih mementingkan penggunaan
pelararan induktif (inductive reasoning) daripada
penggunaan penalaran deduktif (deductive reasoning).
Penalaran deduktif adalah bentuk penalaran yang mencoba melihat
fenomena-fenomena umum untuk kemudian membuat sebuah simpulan
yang khusus. Penalaran induktif (inductive reasoning) adalah
kebalikannya. Penalaran induktif justru memandang fenomena-fenomena
atau situasi-situasi yang khusus lalu berikutnya membuat sebuah
simpulan secara keseluruhan (umum). Esensinya, pada penggunaan
penalaran induktif, bukti-bukti khusus (spesifik) ditempatkan ke dalam
suatu relasi (hubungan) gagasan/ide yang lebih luas (umum). Sedangkan
metode ilmiah pada umumnya meletakkan fenomena-fenomena unik
dengan kajian khusus/spesifik dan detail lalu setelah itu
kemudian merumuskan sebuah simpulan yang bersifat umum.
Metode ilmiah adalah
sebuah metode yang merujuk pada teknik-teknik penyelidikan
terhadap suatu atau beberapa fenomena atau gejala,
memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi
dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Agar dapat dikatakan
sebagai metode yang bersifat ilmiah, maka sebuah metode
penyelidikan/inkuiri/pencarian (method of inquiry)
haruslah didasarkan pada bukti-bukti dari objek
yang dapat diobservasi, empiris, dan
terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.
Oleh sebab itulah metode ilmiah umumnya memuat
serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen,
mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji
hipotesis.
B.
Kriteria-Kriteria Pendekatan Ilmiah dan Nonilmiah dalam Pembelajaran
Berdasarkan
hasil penelitian, pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah
mempunyai hasil yang lebih efektif bila dibandingkan dengan
penggunaan pembelajaran dengan pendekatan tradidional. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pada pembelajaran tradisional,
retensi informasi dari guru sebesar 10
persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual
sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi
informasi dari guru sebesar lebih dari 90
persen setelah dua hari dan perolehan
pemahaman kontekstualsebesar50-70persen.
Proses
pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus
dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah.
Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi
pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan
penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan
demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan
dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau
kriteria ilmiah.
Sebuah
proses pembelajaran yang digenjot oleh seorang guru di kelasnya akan dapat
disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria
berikut ini.
- Substansi atau materi pembelajaran benar-benar berdasarkan fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
- Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik harus terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
- Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
- Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik (membuat dugaan) dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
- Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
- Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan.
- Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Kemudian, sebuah proses pembelajaran
harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi
intuisi, penggunaan akal sehat yang keliru, prasangka, penemuan melalui
coba-coba, dan asal berpikir kritis.
1.
Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang
kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna
kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar
pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini
sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya.
Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses
panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan
dimensi alur pikir yang sistemik.
2.
Akal sehat.
Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat
selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian,
jika guru dan peserta didik hanya
semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula
menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3.
Prasangka.
Sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas
dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu
kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi
pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya,
seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas.
Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal
sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis.
Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik.
Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika
diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4.
Penemuan coba-coba.
Tindakan atau aksi coba-coba
seringkali melahirkan wujud atau temuan
yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan
pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu
bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika
baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada
manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena itu,
kalau memang tindakan coba-coba ini akan
dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap
tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta
didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia
kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang
tombol yang menyebabkan komputer laptop itu
menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia
sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa
memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.
5.
Berpikir kritis.
Kamampuan berpikir kritis itu
ada pada semua orang, khususnya mereka yang
normal hingga jenius. Secara akademik diyakini
bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki
oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang
seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar
oleh banyak orang. Tentu saja hasil
pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena
bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid
dan reliabel karena pendapatnya itu hanya
didasari atas pikiran yang logis semata.
Konsep Pendekatan Scientific dalamKurikulum
2013. Pada penerapan (implementasi Kurikulum 2013) di lapangan (baca: sekolah),
guru salah satunya harus menggunakan pendekatan ilmiah (scientific),
karena pendekatan ini lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan
tradisional (Kemendikbud. 2013).
Kriteria
Pendekatan Scientific (Pendekatan Ilmiah)
Berikut
ini tujuah (7) kriteria sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai
pembelajaran scientific, yaitu:
- Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
- Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
- Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
- Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
- Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
- Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Langkah-Langkah Pembelajaran pada Pendekatan Scientific (Pendekatan Ilmiah)
pendekatan
scientific dan 3 ranah yang disentuh
|
Proses
pembelajaran yanag mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh
tiga ranah, yaitu: sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan
(psikomotor). Dengan proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil
belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif
melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
Adapun
penjelasan dari diagram pendekatan pembelajaran scientific (pendekatan
ilmiah) dengan menyentuh ketiga ranah tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
- Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.”
- Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”.
- Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.”
- Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
- Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.
- Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.
Langkah-langkah
pembelajaran scientific meliputi:
Penerapan pendekatan
scientific ini akan menjadi tantangan guru melalui pengembangan 7 aktivitas
siswa yaitu mengamati, menanya, mencoba, mengolah,
menyaji, menalar, dan mencipta.
Tujuh
aktivitas belajar tersebut merupakan aktivitas dalam mengembangkan keterampilan
berpikir untuk mengembangkan ingin tahu siswa. Dengan itu diharapkan siswa
termotivasi untuk mengamati fenomena yang terdapat di sekitarnya, mencatat atau
mengidentifikasi fakta, lalu merumuskan masalah yang ingin diketahuinya dalam
pernyataan menanya. Dari langkah ini diharapkan siswa mampu merumuskan masalah
atau merumuskan hal yang ingin diketahuinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Kemendikbud. 2013. Modul
Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemendikbud. 2013. Kurikulum
2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemendiknas. 2008. Pendekatan, Jenis, dan Metode Penelitian
Pendidikan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar