TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Pembentukan Pengetahuan Menurut Model Konstruktivistik
Pembentukan
pengetahuan menurut model konstruktivisme memandang subyek aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan
struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi
kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa
harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi (Piaget,1988:60).
Yang
terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran
siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa
secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Suparno,
1997 : 81).
Belajar
lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan
berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sejawat,
yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik
melainkan pada pebelajar. Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya
(outcome) juga memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu. Pengetahuan yang
ditransformasikan diciptakan dan dirumuskan kembali (created and recreated),
bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Bentuknya bisa objektif maupun subjektif,
berorientasi pada penggunaan fungsi konvergen dan divergen otak manusia (
Semiawan, 2001: 6 ).
Pengetahuan
dalam pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang logis dan
tinggi. Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan gagasan,
gambaran, pandangan akan sesuatu atau gejala sederhana. Dalam konstruktivisme,
pengalaman dan lingkungan kadang punya arti lain dengan arti sehari-hari.
Pengalaman tidak harus selalu pengalaman fisis seseorang seperti melihat,
merasakan dengan indranya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu
berinteraksi secara pikiran dengan suatu obyek (Suparno, 1997 : 80). Dalam
konstruktivisme kita sendiri yang aktif dalam mengembangkan pengetahuan
Pada bagian ini dikaji tentang pandangan konstruktivistik
terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan
diarahkan pada hal-hal seperti, karakteristik manusia masa depan yang
diharapkan, konstruksi pengetahuan, dan proses belajar menurut teori
konstruktivistis. Kajian diakhiri dengan memaparkan perbandingan pembelajaran
tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik.
- 1. Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia
ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang
dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah
manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap
resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui
proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri
sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu melakukan
kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan
kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, bearti ketajaman baik
dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di
dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain
sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta.
Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri di
samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai
dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan
untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi,
bearti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu
dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam
meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan
tujuan diatas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan
berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara
belajar siswa aktif didalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui
sentralitas peranan siswa didalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh
bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut
bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik disamping pilihan masyarakat
(Raka Joni, 1990)
Penerapan ajaran tut wuri
handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam
rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang
memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat memusatkan
perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik
diatas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar
dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.
- 2. Konstruksi Pengetahuan
Untuk memperbaiki pendidikan
terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara
mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang
dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau
peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia
akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan
seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan dibahas teori
belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan
itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan,
realitas, dan kebenaran.
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan
konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang
sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap
objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya.
Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang
yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang
yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan
kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu
kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh
siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan
lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar,menjamah, mambau, atau
merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu
yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak
seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan
pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan,
yaitu;
1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman
2) Kemampuan membandingkan dan mengambil
keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3) Kemampuan untuk lebih menyukai suatu
pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi
proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada,
domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan
hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi
pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang
tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
- 3. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar sebagai suatu usaha
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan
akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada
kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik,
dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi
belajar.
Teori belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar
jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan
akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan
belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan
pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing
and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the
individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. pemberian
makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan
secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan
sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas.
Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa
dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan konstrktivistik,
belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah
lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada
siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang
siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari
sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih
sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan
dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru
atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh
siswa berjalan lancar. Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya
sendiri. Guru dituntut lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa
dalam belaajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat
adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi
pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1) Menumbuhkan kemandiriran dengan
menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan kemampuan mengambil
keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan
kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik
menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan,
media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan
pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan
terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan
pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai
pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta
aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan
pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan
penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang
obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak
mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery
lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya
reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap,
tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk
menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat
dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh
proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar
merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru
tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan
diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi
dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik
mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan
dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk
menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik
mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan
kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi
tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik
mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam
pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada
kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa
mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika
hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasinya belajar pandangan
behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan
pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu
konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi
akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan
selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada
evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang
menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak
sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih cepat
dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk
menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif
bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi
konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi
pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti
tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne,
serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa,
dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
4. Perbandingan
Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif
jika diketahui inti belajar yang sesungguhnya.Kegiatan pembelajaran yang selama
ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh
guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa
dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan.
Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang
disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki
pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut.
Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena
sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang
mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya
setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa,
guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah,
melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh
guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap
pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru
oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran
diatas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan
mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan
pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru.
Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini
tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat
diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab
soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat
dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran
tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai
berikut:
No.
|
Pembelajaran tradisional
|
Pembelajaran konstruktivistik
|
1.
|
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan
dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.
|
Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke
bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
|
2.
|
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah
ditetapkan.
|
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan
dan ide-ide siswa.
|
3.
|
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku
teks dan buku kerja.
|
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada
sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
|
4.
|
Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat
digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara
didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
|
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat
memunculkan teori-teori tentang dirinya.
|
5.
|
Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang
sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran
dengan cara testing.
|
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di
dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang
sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
|
6.
|
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada
group proses dalam belajar
|
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group
proses.
|
Karakteristik pembelajaran yang harus dilakukan adalah:
1 Membebaskan siswa dari belenggu
kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah diterapkan, dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2 Menempatkan siswa sebaagai
kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau
gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat
kesimpulan-kesimpulan.
3 Guru bersama-sama siswa mengkaji
pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat macam-macam
pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4 Guru mengakui bahwa proses belajar
serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak
teratur, dan tidak mudah di kelola.
Kelebihan
-
Kelebihan dalam proses pembelajaran konstruktivistik siswa dituntut untuk bisa
berfikir aktif dalam belajar
-
Kelebihan konstruktivistik dalam pembelajaran bisa adanya group
-
Pembelajaran terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri
Kekurangannya
-
Kekurangan apabila ada siswa yang pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak
cocok untuk siswa pasif
-
Siswa belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri
-
Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, J.G, & Brooks, M., (1993). The case for
constructivist classrooms.
Association for supervision and curriculum development. Alexandria Virginia
Degeng N.S, (1997). Pandangan Behavioristik vs
Konstruktivistik: Pemecahan Masalah
Belajar Abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.
Duffy, T.M., & Jonassen, D.H., (1992). Constructivism
and The Technology of Instruction: A
Conversation. Lawrence Erbaum Associates, Publishers Hillsdale, New
Jersey.
Jonanssen, D.H., (1990). Objectivism Versus
Constructivism: Do We Need New
Philosophical Paradigm? ERT & D, Vol. 29, No. 3, pp.
5-14.
Paul Suparno, (1996). Konstruktivisme dan Dampaknya
terhadap Pendidikan. Kompas
Perkins, D.N., (1991). What Constructivism Demands of The
Learner. Education
Technology. Vol. 33, No. 9, pp. 19-21
Raka Joni, T., (1990). Cara Belajar Siswa Aktif: CBSA:
Artikulasi Konseptual, Jabaran Operasional, dan Verivikasi Empirik. Pusat Penelitian
IKIP Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar