1.Judul : Penyesuaian Hewan Poikilotermik
Terhadap Oksigen Terlarut
2 Tujuan : Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap
-
Oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh suhu air
-
Oksigen yang terkandung dalam air karena
pengaruh kadar garam dalam air
3. Dasar teori
Temperatur Tubuh Pada
Poikilotermis
Suhu tubuh hewan
poikilotermik ditentukan oleh keseimbangannya dengan kondisi suhu lingkungan,
dan berubah-ubah seperti berubah-ubahnya kondisi suhu lingkungan. Pada hewan
poikilotermik air, misalnya kerang, udang dan ikan, suhu tubuhnya sangan
ditentukan oleh keseimbangan konduktif dan konvektif dengan air mediumnya, dan
suhu tubuhnya mirip dengan suhu air. Hewan memprodukdi panas internak secara
metabolik, dan ini mungkin meningkatkan suhu tubuh di atas suhu air. Namun air
menyerap panas begitu efektif dan hewan poikilotermik tidak memiliki insulasi
sehingga perbedaan suhu hewan dengan air sangat kecil (Soewolo, 2000:331)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen =DO)
dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu
perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil
fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Makhluk hidup
dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi tubuhnya. Endoterm
adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang diperlukan
untuk tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok hewan Ektoterm berasal
dari suhu di sekelilingnya yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok hewan
ketiga adalah Heteroterm, tubuh hewan ini dapat memproduksi panas
seperti halnya pada endoterm, tetapi tidak mempertahankan suhu tubuhnya dalam
kisaran suhu yang sempit .
Pada kondisi
suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah batas ambang toleransinya hewan
ektoterm akan mati. Hal ini karena praktis enzim tidak aktif bekerja sehingga metabolisme berhenti. Pada suhu yang masih bisa ditolerir, yang
lebih rendah dari suhu optimum laju metabolisme tubuhnya dan segala aktifitas
pun rendah, akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lamban sehingga
akan memudahkan pemangsa atau predator untuk memangsa hewan tersebut.
Sebenarnya
hewan ektoterm berkemampuan untuk mengatur suhu tubuhnya namun daya mengaturnya
sangat terbatas dan tidak fisiologis sifatnya melainkan secara perilaku. Apabila
suhu lingkungan terlalu panas hewan ektotermik akan berlindung di tempat-tempat
teduh, apabila suhu lingkungan menurun, hewan tersebut akan berjemur dipanas
matahari untuk menghangatkan tubuh.
Suhu
mempengaruhi proses fisiologis hewan ektoterm termasuk aktivitas yang
dilakukan. Penaikan maupun penurunan tersebut mencapai dua kali aktivitas
normal. Aktifitas akan naik seiring dengan naiknya suhu sampai pada titik
dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian diikuti aktifitas yang menurun dan
akhirnya terjadi kematian.Pada suhu sekitar 10oC dibawah atau diatas
suhu normal suatu jasad hidup dan khususnya pada hewan ektoterm dapat
mengakibatkan penurunan atau kenaikan aktifitas jasad hidup tersebut menjadi
kurang lebih dua kali pada suhu normalnya. Sedangkan perubahan suhu yang
tiba-tiba akan mengakibatkan terjadinya kejutan atau shock (Yuliani dan Raharjo, 2009:58).
Respirasi eksternal sangat
dipengaruhi oleh kadar oksigen didalam
lingkunga organisme yang bersangkutan. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi
oleh kelarutan oksigen dalam air. Kelarutan oksigen dalam cairan secara umum
dipengaruhi oleh:
1.
Tekanan parsial oksigen (O2) di atas permukaan cairan.
Makin tinggi tekanan O2 di atas permukaan cairan, makin tinggi pada kelarutan
oksigen di dalam cairan.
2.
Suhu cairan atau medium. Makin tinggi suhu cairan atau
medium, makin rendah kelarutan oksigen dalam cairan atau medium.
3.
Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi kadar garam,
makin rendah kelarutan oksigen di dalam cairan (Tim Dosen Fisiologi Hewan,
2013:9)
Kehadiran dan
keberhasilan suatu organisme tergantung pada lengkapnya keadaan, ketiadaan atau
kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan maupun kelebihan
baik secar kualitatif maupun secara kuantitatif dari salah satu dari beberapa
faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut.
Faktor-faktor yang mendekati batas biotik tersebut meliputi komponen biotik dan
komponen abiotik yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme tersebut.
Komponen biotik yang dimaksud tidak terbatas pada tersedianya unsur-unsur yang
dibutuhkan, tetapi mencakup pula temperatur, sinar matahari, air dan
sebagainya. Tiap organisme mempunyai batas maksimum dan minimum terhadap
faktor-faktor tersebut, dengan kisaran diantaranya batas-batas toleransi (Udom,
1989:257)
Aktivitas poikilotermis tergantung
kepada suhu lingkungannya dan sehubungan dengan itu, hewan-hewan kelompok ini
tidak akan memerlukan energi terlalu besar untuk termoregulasinya karena laju
metabolismenya juga rendah dengan sedikit atau tanpa adanya produksi panas.
Dalam kondisi dingin suhu tubuhnya rendah dan di kondisi panas maka suhu tubuh
akan meningkat. Suhu tubuh akan meningkat karena efek lingkungan dan laju
metabolisme juga akan dipercepat. Oleh sebab itu tidak ada laju metabolisme
yang pasti pada poikilotermis dan akan berubah-ubah sesuai temperatur
lingkungan. Poikilotermis meregulasi suhu tubuhnya dengan mekanisme fisika
hanya melalui :
a. Insulasi yang
sedikit memungkinkan kehilangan panas lebih cepat dan
mencegah akumulasi
panas yang tersimpan dalam tubuh.
b. Suhu tubuh di bagian
dalam (core body temperature) yang diukur dari bagian
rektal) akan lebih
rendah daripada suhu lingkungannya.
c. Pada lingkungan yang
tinggi, panas tubuh akan dikurangi melalui evaporasi.
d. Pada suhu lingkungan
yang rendah, tidak ada proses regulasi spesifik untuk
memproduksi panas
karena tidak ada regulasi kimiawi.
A.
Poikilotermis Akuatis
Regulsi termal pada poikilotermis akuatis adalah
fenomena sederhana. Pertuakran panas pada hewan akuatis sebagian besar terjadi
melalui konduksi dan konveksi. Suhu lingkungan pada hewan akuatis relatif
sabil, kendati variasi-variasi musiman dapat terjadi di permukaan air laut dan
danau. Pada hewan akuatis yang tidak memiliki ketahanan terhadap dingin,
kendati suhu lingkungan di atas titik beku tetap beresiko letal. Sebaliknya,
sebagian besar hewan akuatis juga tidak toleran terhadap suhu tinggi. Pada
beberapa spesies, kematian dapat terjadi kendati temperatur lingkungan masih
dilevel dimana protein biasanya terdenaturasi.
Invertebrata
akuatis Dapat mentoleransi kisaran fluktuasi temperatur yang lebih luas
dibandingkan dengan vertebrata poikilotermis. Larva Chironomidae di
sumber air panas dapat mentoleransi temperatur hingga 50oC, sementara spesies-spesies
insekta lainnya dapat bertahan pada suhu di bawah titik beku air (sub-zero)
dalam periode yang relatif lebih panjang. Pola adaptasi ini tetap memiliki
spesifisitas pada masing-masing spesies.
Vertebrata akuatis Juga
memiliki pola termoregulasi yang spesifik. Ikan adalah hewan akuatis yang
bernafas dengan insang dimana suhu tubuhnya dipertahankan untuk tetap sama
dengan suhu lingkungan. Laju metabolismenya sangat rendah sehingga laju pertukaran
panas juga rendah. Seekor ikan yang berenang akan menghasilkan sejumlah panas
berhubungan dengan aktivitas muskular yang dapat meningkatkan temperatur tubuh
secara temporer akan tetapi segera akan kembali sama dengan suhu lingkungannya.
Hal ini terjadi karena panas tubuh yang dihasilkan dari aktivitas muskular akan
segera ditransfer ke darah dan mencapai insang yang kemudian segera berhubungan
dengan air. Insang adalah organ respirasi yang efisien dan juga terlibat dalam
stabilitas suhu dalam darah dan lingkungan air di sekitar tubuhnya.
Faktor fisika
seperti panas permukaan yang cukup tinggi pada ikan, mekanisme counter-current
dan pembuluh darah berdinding tipis akan memfasilitasi pertukaran panas antara
air dan tubuh ikan sehingga temperatur tubuh akan tetap sama dengan temperatur
air. Akantetapi ada suatu pengecualian terhadap generalisasi tersebut, yaitu
pada ikan tuna yang berukuran besar dan prenang cepat, suhu otot aksialnya
lebih tinggi 12oC daripada suhu lingkungannya. Panas yang dihasilkan dari
aktivitas muskular tersebut akan diregulasimelalui mekanisme counter-current
pada kisaran yang terbatas dan kehilangan panas akan dikurangi.
Gambar
7. 2 Pertukaran panas pada ikan. Panas yang dihasilkan dari metabolisme di otot
akan dialirkan dari darah vena yang panas menuju darah arteri yang lebih
dingin.
Telah diketahui pula bahwa kecocokan antara suhu
tubuh dengan suhu air akan lebih mudah tercipta pada hewan-hewan kecil daripada
hewan besar. Pada kondisiaktivitas yang berkelanjutan, hewan berukuran besar
akan memperlihatkan peningkatan signifikan dari suhu tubuhnya. Ikan biasanya
lebih mudah mengalami perubahan ketika suhu lingkungan berubah. Ikan-ikan yang
hidup di perairan dangkal atau di bagian permukaan air laut akan mengalami
fluktuasi temperatur yang drastis pada periode musiman. Sedangkan ikan-ikan
yang ada di daerah tropis atau di air yang dalam pada berbagai daerah lintang
tidak menghadapai fluktuasi temperatur, sehingga sangatsensitif terhadap
perubahan suhu lingkungannya. Ikan yang secara normal mengalami perubahan
musiman dari aspek suhu tubuhnya akan melibatkan perubahan-perubahan biokimiawi
untuk menjaga perubahan suhu tubuh agar tetap dalam kondisi normal (Santoso,
2009:158-162).
Pengaruh suhu rendah terhadap ikan adalah rendahnya
kemampuan mengambil oksigen (hypoxia). Kemampuan rendah ini disebabkan
oleh menurunnya detak jantung. Pengaruh lain adalah terganggunya proses osmoregulasi
(pertukaran air dari dan ke dalam tubuh ikan). Pada suhu yang turun
mendadak akan terjadi degradasi sel darah merah sehingga proses respirasi (pernafasan
atau pengambilan oksigen) terganggu. Sebaliknya, pada suhu yang meningkat
tinggi akan menyebabkan ikan bergerak aktif, tidak mau berhenti makan, dan
metabolisme cepat meningkat sehingga kotoran menjadi lebih banyak. Kotoran yang
banyak akan menyebabkan kualitas air disekitarnya menjadi buruk. Sementara
kebutuhan oksigen meningkat, tetapi ketersediaan oksigen air buruk sehingga
ikan akan kekurangan oksigen dalam darah. Akibatnya ikan menjadi stress, tidak
ada keseimbangan, dan menurun sistem sarafnya (Lesmana, 2002).
Kenaikan suhu air ini disebabkan masuknya limbah air
panas yang berasal dari Pembangkit listrik. Penurunan suhu air juga merugikan
bagi organisme. Bila terjadi penurunan suhu air maka organisme berusaha
melindungi diri dengan cara mensintesa senyawa glikoprotein. Senyawa ini dapat
mencegah pembekuan larutan yang terdapat dalam tubuhnya. Namun penurunan suhu
air laut yang terlalu rendah akan mengakibatkan kematian organisme air
(Hutagalung, 1988).
4.
Metodologi
Penelitian
4.1 Alat
dan Bahan
-Alat
1.Termometer
2.
Timbangan
3.
Bak plastik
4.
Kompor
5.
Panci
6.
Gelas Piala
7.
Gelas Ukur
8.
Pengaduk
9.
Stopwatch
10.
Boardmaker
-Bahan
1. Es
Batu
2. Ikan
Mas (Cyprinus carpio)
4.2
Cara Kerja pengaruh kenaikan suhu medium
Memanaskan
air dalam hitter
|
Menimbangan berat
ikan yang akan dipakai, kemudian memasukkan ke dalam bak paltik yang telah berisi air tadi
|
Menunggu sampai ikan nampak tenang,
kemudian menghitung gerak operculum selama satu menit, kemudian
mengulanginya sampai tiga kali hitungan dan mengambil rata-ratanya
|
Mengisi
bak plastik dengan air kran, memberi tanda tingginya air dengan boardmaker,
dan mencatat suhu air
|
Menaikkan suhu medium dengan
interval 3 derajat celcius dengan
cara menuangkan air panas ke dalam bak samapai tercapai suhu yang kita
kehendaki, namun volume air harus tetep konstan
|
Kenaikan suhu diteruskan sampai
mencapai suhu kritis tertinggi serta menghentikan perlakuan pada saat iakn
nampak kolaps
|
4.3 Cara
Kerja pengaruh penurunan suhu medium
Menurunkan suhu medium dengan cara
memasukan es kedalam bak sampai tercapai suhu yang dikehendaki (interval 3
derajat celcius)
|
Memanaskan
air dalam hitter
|
Menimbangan berat ikan yang akan
dipakai, kemudian memasukkan ke dalam bak paltik yang telah berisi air tadi
|
Menunggu sampai
ikan nampak tenang, kemudian menghitung gerak operculum selama satu menit,
kemudian mengulanginya sampai tiga kali hitungan dan mengambil rata-ratanya
|
Mengisi
bak plastik dengan air kran, memberi tanda tingginya air dengan boardmaker,
dan mencatat suhu air
|
Penurunan suhu diteruskan sampai
tercapai suhu kritis terendah (ikan nampak kolaps)
|
5.
PEMBAHASAN
Pada
praktikum kali ini yang berjudul “Penyesuaian Hewan Poiklotermik Terhadap
Oksigen Terlarut” dilakukan dengan tujuan ingin mengetahui tentang penyesuain
hewan poikiotermik terhadap oksigen yang terkandung di dalam air karena
pengaruh kenaikan suhu maupun penurunan suhu medium atau cairan. Pada praktikum
kali ini praktikan melakukan 2 percobaan yaitu untuk mengetahui pengaruh
kenaikan suhu terhadap membuka dan menutupnya operculum dan pengaruh penurunann
suhu terhadap membuka dan menutupnya operculum. Untuk menaikkan suhu pada
medium praktikan menggunakan air panas yang ditambahkan pada air kran yang
sudah ada di dalam bak plastik sedangkan untuk menurunkan suhu praktikan
menggunak es batu yang sudah dipecah-pecah agar mudah mencair di dalam air.
Pada
proses penambahan air panas maupun es batu. Volume air yang ada dalam bak
plastik harus konstan. Hal ini dilakukan dengan cara mengambil air sesuai
dengan air panas atau air es yang telah di tuangkan pada bak plastik. Volume
tetap dipertahankan agar oksigen yang terlarut dalam air tetap, sehingga faktor
suhu yang menjadi tujuan utama dalam paktikum ini dapat sempurna terjadi tanpa
ada faktor lain yang mempengaruhi praktikum kali ini.
Adanya
kenaikan ataupun penurunan suhu nantinya akan berpengaruh terhadap proses
respirasi pada ikan mas tersebut. Pada saat suhu medium atau suhu air tempat
ikan berada di naikkan dengan interval 3 derajat celcius , maka laju
metabolisme ikan juga akan meningkat sehingga gerakan membuka dan menutupnya
operculum ikan akan lebih cepat daripada suhu awal kamar. Hal ini terbukti pada
hasil percobaan yang telah dilakukan oleh kelompok 1,2 dan 3 yang mengamati tentang pengaruh kenaikan suhu
pada membuka dan menutupnya operculum.
Pada kelompk 1 dihasilkan dari suhu awal 27,5
C, 30,5C, 33,5 C,36,5C dengan rata-rata gerakan operculum secara berurutan 152,
107, 126, 136,3. Pada kelompk 2 dihasilkan gerakan operculum dari suhu awal 29
C, 32 C, 35 C, 38 C dengan rata-rata gerakan operculunya yaitu 98,6, 114,125,
129, sedangakan pada kelompok 3 yaitu dihasilkan rata-rata pergerkan operculum
ari suhu awal 28 C, 31 C, 34 C, 37 C,
dengan rata-rata gerakan operculumnya yaitu 110,3, 110,3,123,136,3. Dari hasil
pengatan tersbut dapat dilihat bahwa pada hasil pengamtan kelompok 2 dan
kelompok 3 rata-rata pergerekan operculumnya relatif meningkat.
Dari
hasil pengamatan tersebut dapat di analisis bahwa semakin tinggi suhu maka gerakan operculum semakin cepat. Hal ini
dikarenakan semakin tingginya suhu menyebabkan memicu laju respirasi ikan mas
semakin cepat. Peningkatan suhu
mempengaruhi peningkatan metabolisme
ikan. Enzim-enzim yang berperan dalam proses tersebut juga akan semakin aktif
untuk memecah substrat sehingga
metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka akan menghasilkan semakin banyak
metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah akan melakukan transport
metabolit untuk diedarkan ke seluruh tubuh menjadi lebih cepat sehingga
frekuensi denyut jantung juga menjadi meningkat. Untuk
mengimbangi proses transport metabolit yang cepat maka organisme harus menyediakan oksigen yang juga cepat untuk memecah hasil
metabolisme menjadi suatu bentuk energi melalui suatu proses katabolisme.
Respirasi harus cepat dilakukan agar pemcahan karbohidrat menjadi energi juga
menjadi cepat. Karena alasan itulah pada semakin tinggi suhu maka proses respirasi
semakin cepat yang menyebabkan gerakan operculum juga semakin cepat. Kecepatan
respirasi pada kenaikan suhu tersebut meyebabkan kadar oksigen yang terlarut
dalam air semakin sedikit karena bayaknya oksigen yang telah digunakan untuk
proses respirasi. Jadi semakin tinggi suhu maka oksigen yang terlarut dalam air
semakin sedikit.
Suhu
mempengaruhi proses fisiologis hewan poikilotermik termasuk aktivitas yang dilakukan. Kenaikan maupun penurunan suhu tersebut
mencapai dua kali aktivitas normal. Aktifitas akan naik seiring dengan naiknya
suhu sampai pada titik dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian diikuti
aktifitas yang menurun dan akhirnya terjadi kematian. Kenaikan
suhu yang melebihi batas toleransi pada organisme maka akan menyebabkan
organisme tersebut akan colaps atau bahkan mati. Hal ini dikarenakan aktivitas
fisiologis tubuh tidak dapat berjalan, karena pada suhu yang tinggi, protein dalam
tubuh ikan baik secara struktural maupun fungsional mengalami denaturasi atau
kerusakan. Hal ini sudah terlihat pada hasil pengamatan pada kelompok 1 ikan colaps
pada suhu 39,5 C, pada akelompok 2 ikan colaps pada suhu 41 C. Sedangkan pada kelompok
3 ikan colaps pada suhu 40 C. Setiap organisme termasuk ikan mempunya batas
toleransi yang berbeda-beda.
Dari hasil pengamatan pada kelompok
1 jika dilihat semakin tinggi suhu maka semakin lambat gerakan operculum. Hal
ini tidak sesuai dengan dasar teori yang ada. Hal ini dapat terjadi karena
banyak faktor diantaranya. Volume air panas yang dituangkan tidak sama dengan
volume air yang di ambil yang menyebabkan volume air tidak konstan. Volume air
yang tidak konstan mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air sehingga rata-rata
gerakan operculum juga tidak valid. Selain itu pada saat menuangkan air panas
terkena pada ikan, sehingga terjadi stres pada ikan yang menyebabkan semakin
lambatnya gerakan operculum.
Jika di amati rata-rata gerakan
operculum antara kelmpok 1,2 dan 3 relatif lebih besar yang kelompok 1. Hal ini
terlihat pada suhu awal kelompok 1 memiliki rata-rata gerakan operculum 152,
sedangkan kelompok 2 dan 3 memilik rata-rata gerakan operculum 98,6 dan 110,3.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan ikan yang digukan pada kelompok 1 memiliki
berat yang lebih besar dari pada kelompok 2 dan 3 yaitu sebesar 19,29 gram
sedangkan kelompok 2 dan 3 hanya memiliki berat 14,7 dan 17,3. Hal ini tidak
sesuai dengan dasar teori yang ada. Semakin besar atau berat suatu organisme
maka semakin luas bidang penampang untuk melalukan difusi, sehingga difusi
oksigen akan berjalan semakin lambat yang menyebabakn proses respirasi dan
gerakan operculumnya juga semakin lambat. Hal ini dapat terjadi kemungkinan di
karenakan pengukuran suhu pada saat praktikum terjadi kesalahan, sehingga hasilnya
juga tidak valid.
Proses respirasi pada kenaikan suhu dipercepat
dikarenakan untuk mengimbangi antara energi yang digunakan dengan energi yang
tersedia, dengan mempercepat respirasi proses pemecahan karbohidarat untuk
menghasilkan energi juga akan dipercepat. Kecepatan respirasi dapat terlihat
pada kecepatan gerakan operculumnya. Jadi proses penimbangan ikan pada saat
praktikum berfungsi untuk mengetahui tentang pengaruh berat ikan terhadap
kecepatan respirasinya yang berkaitan juga pengaruh luasnya bidang penyerapan difusi oksigen
dengan kecepatan respirasi.
Pengaruh penurunan suhu terhadap
proses respirasi pada ikan dapat dilihat pada hasil pengamatan kelompok 4, 5
dan 6. Dari hasil pengamatan dapat
terlihat bahawa semakin rendah suhu maka kecepatan gerakan operculumnya semakin
lambat. Hal ini terlihat pada hasil kelompok 1 dimana pada suhu awal 28 C, 25
C, 22 C, 19 C, 16 C, 13 C memiliki rata-rata kecepatan gerakan operculumnya
secara berurutan yaitu 140, 123, 118, 109, 106 dan 89. Pada kelompok 5 pada
suhu awal 28 C, 25 C, 22 C, 19 C,16 C, dab 13 C, memiliki rata-rata kecepatan
gerakan operculumnya secara berurutan yaitu 134, 92, 89, 85, 68, 61. Pada
kelompok 6 pada suhu awal 28 C, 25 C, 22 C, 19 C,16 C, dab 13 C memiliki
rata-rata kecepatan gerakan operculumnya secara berurutan yaitu114, 106, 101,
96, 81,70.
Dari
hasil pengamatan tersebut dapat di analisis dengan adanya penurunan
temperature, maka terjadi penurunan metabolisme pada ikan yang mengakibatkan
kebutuhan O₂
menurun, sehingga gerakan operculumya melambat. Metabolisme yang menurun pada
suhu rendah disebabkan karena ikan tidak memerlukan banyak oksigen untuk
memecah karbohidrat menjadi bentuk gula yang sederhana. Sehingga respirasi dan
gerakan operkulum juga lambat. Hal ini terbukti dari hasil rata-rata gerakan operculum
yang semakin menurun dari masing-masing kelompok 4,5 dan 6 seiring dengan
penurunan suhunya. Penurun O₂
juga dapat menyebabkan kelarutan O₂
di lingkungannya meningkat. Jadi semakin rendah suhu maka semakin lambat
respirasi yang menyebabkan lambatnya pula gerakan operculumnya. Proses
respirasi yang lambat memberi dampak pada semakin tingginya ketersedian oksigen
di dalam air (kelarutan oksigen dalam air semakin tinggi).
Pada kondisi
suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah batas ambang toleransinya hewan poikilotermik
akan mati. Hal ini karena praktis enzim tidak aktif sehingga metabolisme
berhenti. Pada suhu yang masih bisa ditolerir, yang lebih rendah dari suhu optimum
laju metabolisme tubuhnya dan segala aktifitas pun rendah, akibatnya gerakan
hewan tersebut menjadi sangat lamban. Hal ini terlihat pada pada suhu 10
derajat celcius pada kelompok 4,5 dan 6 ikan colaps.
Kecepatan respirasi pada suatu
organisme dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang paling dominan yang
mempengaruhi kecepatan respirasi yaitu laju metabolisme, semakin tinggi laju
metabolisme maka semakin cepat respirasi terjadi yang berdampak pada semakin
cepatnya gerakan operculum. Jadi pada ikan yang relatif lebih aktif bergerak
maka proses respirasinya juga akan semakin cepat dibanding ikan yang kurang
aktif bergerak. Pada praktikum kali ini praktikan tidak bisa mengetahui
pengaruh dampak gerak ikan terhadap kecepatan respirasi. Hal ini dikarenkan pada
saat praktikum, praktikan hanya menggunakan satu ikan, sehingga tidak bisa
dibangdingkan gerak satu ikan dengan ikan yang lain.
Kecepatan respirasi juga dipengaruhi
oleh kelarutan oksigen dalam air, semakin tinggi kelarutan oksigen dalam air,
maka respirasi semakin lambat, semakin rendah kelarutan oksigen dalam air maka
kecepatan respirasi semakin cepat untuk memasok oksigen yang lebih banyak dalam
tubuh. Selain faktor faktor diatas kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi
oleh tekanan parsial serta kadar garam dalam air. Akan tetapi pada praktikum
kali ini kedua faktor tersebut tidak di uji cobakan .
Luas penampang difusi oksigen juga
mempengaruhi kecepatan respirasi. Semakin besar luas penampang difusi oksigen
(semakin besar ikan) maka repirasi semakin lambat, semakin kecil luas penampnag
(semakin kecil ukuran ikan) maka respirasi semakin capat. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan sel yang berperan untuk melakukan difusi pada ikan yang besar lebih
banyak dari pada ikan yang memiliki luas penampang (ukuran ikan )yang kecil,
sehingga dengan respirasi lambat pun ikan besara mampu memenuhi kebutuhan
oksigennya. Akan tetapi luas penampang saja tidak terlalu signikan memberikan
dampak kecepatan respirasi tanpa adanya pengaruh kecepatan atau laju
metabolisme ikan.
6.
Kesimpulan
·
Dari hasil pratikum dapat disimpukan bahwa semakin
tinggi suhu maka respirasi semakin cepat, gerakan operculum ikan juga akan
semakin cepat.
·
Semakin rendah suhu maka semakin lambat proses
respirasinya yang menyebabkan gerakan operculum juga semakin lambat.
·
Semakin berat
bobot organisme maka semakin cepet respirasinya begitu pula gerakan
operculumnya juga semakin cepat.
·
Semakin rendah
bobot organisme maka kecepatan respirasinya
semakin cepat begitu pula gerakan operculumnya juga akan semakin cepat. Semakin
Semakin tinggi bobot organisme maka kecepatan respirasinya semakin lambat begitu pula gerakan operculumnya
juga akan semakin lambat.
·
Semakin tinggi kelarutan oksigen dalam air, maka
respirasi semakin lambat, karena sudah tersedinya oksigen yang cukup
dilingkungan air tersebut.
·
Semakin rendah kelarutan oksigen dalam air maka
kecepatan respirasi semakin cepat untuk memasok oksigen yang lebih banyak dalam
tubuh.
·
Selain fakto-faktor diatas kelarutan oksigen dalam air
juga dipengaruhi oleh tekanan parsial serta kadar garam dalam air, serta
pengaruh yang signifikan pada kecepatan respirasi itu adalah laju metabolisme.
Akan tetapi pada praktikum kali ini pengaruh tekanan parsil dan kadar garam
tidak di uji cobakan .
DAFTAR
PUSTAKA
Hutagalung, Horas P.
1988. Pengaruh Suhu Air Terhadap Kehidupan Organisme Laut. Oseana, Volume XIII, Nomor 4 : 153 –
164.(online: http://www. oseanograf i.lipi.go.id /sites
/default/files/oseana_xiii(4)153-164.pdf).
Di akses 23 oktober 2013
Lesmana. 2002. Pengaruh Suhu Terhadap Ikan.(online: http://www.google. co.id/url?sa=t&rct= j&q=&esrc=s&source =web&cd=5&cad= rja&ved= 0CfcQFjA E&url= http%3 A%2F%2Frepository .ipb.ac.id% 2Fbitstream %2Fhandle%2F123456789% 2F53050%2FBAB %2520II%2520 Tinjauan %2520 Pustaka.pdf%3 Fsequence%3D 3&ei=IEZpUs61 HmuFrQe 2o4DgBg&usg =AFQjCNGOaQ FsKCaRSnRTIr 9eV3TIiMuF_w&sig2= DyFidy DMuAeT 8tp2lwUDkw &bvm=bv.55123115,d.bmk
Di akses 23 oktober 2013
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu
Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana,
Volume XXX, Nomor 3, 2005:21-26ISSN0216-1877.(ONLINE:http://images.atoxsmd .multiply. multiply content. Com /attachment /0/
RluywA oKCsYAAAHI w641/oksigen%20terlarut %20dan% 20kebutuhan %20oksigen%
20biologi%20untuk %20penentuan% 20kualitas %20perairan.pdf?nmid= 44066689,
Diakses
pada tanggal 23 Oktober 2013
Santoso, Putra.
2009. Buku Ajar Fisiologi Hewan.
Padang. Universitas Andalas
Soewolo.
2000. Pengantar fisiolgi hewan. Jakarta:
proyek pengembanagn guru sekolah menengah IBRDLoan no. 3979, Direktorat
jenderal pendidikan tinggi, departemen pendidikan nasiona.Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Tim
Dosen Fisiologi Hewan. 2013. Petunjuk
Praktikum Fisiologi Hewan. Jember: Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas Jember.
Udom, P.Eugene. 1987. Dasarr-Dasar Biologi. Yogyakarta: Gayah Mada Universty press.
Yuliani,
dan Rahardjo. 2012. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Unipress,
Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.
Wow! this is Amazing! Do you know your hidden name meaning ? Scratch here to find your hidden name meaning ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║ ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║ ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║ ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║ ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║
BalasHapusWow! this is Amazing! Do you know your hidden name meaning ? Scratch here to find your hidden name meaning ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║ ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║ ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║ ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║
HapusWow! this is Amazing! Do you know your hidden name meaning ? Scratch here to find your hidden name meaning ║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║║▌║█║▌║▌││║▌║█║▌│║▌║█║▌║▌││║▌║
BalasHapusWow! this is Amazing! Do you know your hidden name meaning ? Scratch here to find your hidden name meaning ████████████████████████████████████████████████
BalasHapus